MASALAH DALAM SUMBER-SUMBER ISLAM & QURAN

(diambil dari buku WHY I AM NOT A MUSLIM karya Ibn Warraq)



PRAKATA DARI PENERJEMAH

Ada beberapa kendala besar mengapa karya-karya kritis historis kepada Islam tidak benar-benar dikenal di Indonesia, diantaranya adalah :
Pertama, adanya ketidakterbukaan masyarakat kita akan karya-karya ilmiah dan ketakutan untuk mengetahui apabila keyakinan imannya ternyata tidak sekuat dan seideal yang mereka pikirkan sebelumnya. Dalam hal ini memang budaya masyarakat kita yang belum dewasa dan masih melihat agama dan kisah-kisahnya sebagai sesuatu yang ditanggung benar, faktual, sempurna dan terang benderang dalam aras sejarah, sehingga mengkritisinya dianggap sebagai melecehkannya. Padahal idealnya, sesuatu yang bisa didebat dan dibuktikan kesalahannya memperlihatkan bahwa asumsi kita akan kehandalan dan kesempurnaan agama itu ternyata keliru. Dan kita patut bersyukur kepada mereka yang mencoba membuka belenggu keyakinan buta lewat cara pandang dan fakta-fakta sejarah baru.

Kedua, adanya terjemahan-terjemahan karya ilmiah itu ditengarai disisipi oleh pihak agama lain yang, sementara membukakan borok-borok dalam Islam, mereka juga memuliakan keyakinannya sendiri, bahkan pada beberapa bagian minor, disisipi frasa-frasa yang tidak didapati di karya aslinya. Apalagi selama ini kritikan kepada Islam selalu disisipi oleh gambar yang menohok dan melecehkan. Padahal metoda kritik historis adalah metoda yang handal untuk membedah dan menganalisa agama manapun lewat pemikiran yang kritis dan rujukan bukti-bukti sejarah otonom di luar keyakinan komunitas itu, dan bukan untuk menelanjangi suatu agama sambil memuliakan agama lain.

Untuk mengatasi problem kedua inilah saya terketuk menerjemahkan 2 bab dari buku yang mengguncang dunia WHY I AM NOT A MUSLIM karya Ibn Warraq, yaitu : Problems of Sources (Bab 3) dan sebagian dari The Koran (Bab 5). Dan tentu saja, sebagian dari terjemahan ini yang sejatinya adalah suatu upaya pengeditan dari terjemahan yang sudah beredar sebelumnya. Sebagai seorang ex-muslim, dan kemudian menjadi agnotis humanis, Ibn Warraq mendedikasikan hidupnya untuk menganalisa Islam baik dari dalam tradisi islam itu sendiri maupun dari luar tradisi. Saya percaya ada banyak poin menarik yang dapat ditarik dari karya Ibn Warraq ini, yang anda dapati lebih netral dalam terjemahan saya dari pada terjemahan yang sudah ada sebelumnya.


MASALAH PENERJEMAHAN KATA-KATA YANG MENYANGKUT DENGAN KETUHANAN

Penerjemah perlu meluruskan hal ini dari awalnya, agar para pembaca secara persis mengetahuinya: yaitu ada masalah penerjemahan yang keliru selama ini dari bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, ataupun dari Bahasa Arab, Yunani, Latin dan Ibrani kedalam Bahasa Indonesia. Kita sering mencampuradukan kata ‘god’ dan ‘lord’ dalam Bahasa Inggris, keduanya sebagai ‘tuhan’, atau keduanya sebagai ‘Allah’. Ditambah lagi kata ‘Allah’ memiliki nuansa berbeda bagi pemeluk Islam dan Kristen. Sementara Islam menganggap ‘Allah’ yang dilafalkan ‘aloh’ atau ‘awloh’ adalah nama diri dari sang tuhan, Kristen menganggap itu adalah nama umum, dan bukan nama diri, seperti halnya manusia, binatang, tumbuhan (sebagai common noun, nama umum) , bukannya si Amir, si Fulan, Kuping Gajah, Pakis Haji (sebagai proper name, atau nama diri).
Untuk itu perlu saya jelaskan bahwa :

1. Dalam teks-teks kitab keagamaan awal, dimana ditulis dalam Bahasa Ibrani, Arami, Yunani, Latin, Arab, Sansekerta, Mandarin dsb, tidak dikenal adanya huruf kapital (huruf besar) untuk menunjukan suatu kehormatan kepada suatu konsep ketuhanan suatu agama. Fenomena ini hanya terjadi pada bahasa modern. Untuk itu saya akan mengadopsi kembali gaya ini, yaitu dengan menuliskan dewa sebagai dewa, tuhan sebagai tuhan, allah sebagai allah, tanpa huruf kapital.

2. Kata ‘theos’ (Yunani) yang sinonim dengan kata ‘god’ (Bahasa Inggris) yang diterjemahkan sebagai ‘allah’ atau ‘ilah’ dalam kosa kata Kristen dan islam, yang sebenarnya sepadan dengan kata ‘dewa’ akan saya terjemahkan menjadi kata ‘sesembahan’. Kata ‘tuhan’ atau dalam Bahasa Inggris ‘lord’dalam beberapa kasus akan saya ganti menjadi ‘gusti, atau junjunan’.

3. Dalam beberapa kasus, demi membedakan pemaknaan allah sebagai nama diri (karena bagaimanapun ratusan juta muslim masih berpikir bahwa allah adalah nama diri dari sang tuhan, maka saya akan membedakan antara allah (untuk pelafalan Kristen) dan awloh (untuk pelafalan islam).

Poin kedua dan ketiga akan sangat membantu kita untuk memahami arti yang tepat dari syahadat dan penggunaan praktisnya. Misalnya dalam syahadat agama yahudi :
Dalam kitab Perjanjian Lama kita melihat syahadat dari agama Yudaisme:
“Dengarlah Israel TUHAN Allahmu adalah satu. Jangan ada padamu illah lain untuk kau sembah”
Seharusnya diterjemahkan menjadi :
Dengarlah Israel: Yahwe sesembahanmu adalah esa. Jangan ada padamu sesembahan / dewa lain untuk kau sembah”.

Dalam kalimat ini jelas bahwa selain Yahwe (ada juga ilah/ dewa/ sesembahan lain, namun sang Yahwe ini meminta kepatuhan mutlak dari pemercayanya agar menyingkirkan sesembahan -sesembahan lain atas dasar kecemburuannya. (yahwe di sini dianggap sebagai nama diri dari sang sesembahan- yang oleh orang Israel tidak berani dibaca Yahwe namun dibaca sebagai adonai, yang artinya junjungan atau sesembahan juga).

Sebaris syahadat islam berbunyi :
“la ilah ha illallah ” yang sering secara keliru diterjemahkan menjadi, “tiada Tuhan selain Allah”,seharusnya diterjemahkan menjadi :
”tiada sesembahan lain selain awloh” (di sini awloh secara keliru dianggap sebagai nama diri, padahal dalam asal-usulnya baik itu allah ataupun awloh bukanlah nama diri, ia adalah kata umum yang berarti ‘sesembahan atau yang disembah’)

Begitu pula secara praktis dalam kosa kata kekristenan selalu dikatakan tuhan Yesus putra allah, yang mana oleh orang Islam, karena kepatuhan imannya akan keesaan sesembahannya, diterjemahkan menjadi Yesus putra tuhan, yang mana seharusnya diterjemahkan menjadi gusti / dewa Yesus putra sang sesembahan (tentu saja putra di sini tidak merujuk pada makna biologis seperti yang dituduhkan islam). Dan memang kata Kyrios dalam bahasa Yunani lebih tepat diterjemahkan sebagai : tuan besar, dewa, gusti atau junjungan ketimbang nama diri 'tuhan'. Untuk itu kita akan dapati keselarasan penerjemahan misalnya : Lord Buddha, menjadi gusti Buddha, Lord Ganesha menjadi gusti Ganesha, atau dewa Ganesha, Lord Jesus, menjadi gusti Yesus atau dewa Yesus. (Kenyataannya memang Yesus adalah manusia biasa yang didewakan oleh para pemercayanya).

Saya berharap bahwa usaha penerjemahan ini, serta pemberian istilah yang lebih tepat akan kata-kata ketuhanan / kedewaan akan sangat membantu kita dalam menganalisa buku ini dan buku-buku terjemahan lainnya di kemudian hari. Terima kasih.




MASALAH DALAM SUMBER-SUMBER ISLAM



Di jaman kita yang skeptis ini, hanya sedikit sekali yang tidak dikritisi, dan suatu hari nanti kita akan berharap mendengar orang berkata bahwa Muhammad sebenarnya tidak pernah ada. - Snouck Hurgronje.[1]


Kisah-kisah dalam Tradisi Islam tentang kehidupan Muhammad, kisah asal-usul dan kebangkitan islam didasarkan khususnya pada sumber-sumber muslim, yaitu (1) Qur'an (2) Biografi-biografi yang ditulis para muslim tentang Muhammad dan (3) Hadis, yakni periwayatan para muslim. Mari kita bahas satu persatu ketiga sumber tersebut:

1. Qur'an
Bukan saja muslim membuat pengakuan luar biasa tentang Qur'an, tapi juga ada kisah-kisah muslim mengenai sejarah terkumpulnya ayat-ayat Qur'an. Seperti yang akan kita telaah, ternyata semua klaim itu keliru, dan kisah-kisah tradisi Islam ternyata hanyalah segunduk kebingungan, kontradiksi dan inkonsistensi.”[2]

Para Akademisi (dalam hal ini berarti : cendekiawan peneliti Islam yang kritis) secara serius mempertanyakan keaslian dari Qur'an itu sendiri, dan kita akan segera menelaah argumen-argumen kuat mereka. Di sini kita hanya akan mencatat nama-nama para ahli tafsir muslim terkenal dan paling berpengaruh mengenai Qur'an, sebagaimana kita akan mengacu pada karya-karya mereka nanti dalam bab berikutnya:
  • Muhammad ibn-Jarir al-Tabari (meninggal 923M)
  • Al-Baghawi (m. 1117 atau 1122)
  • Al-Zamakhshari (m.1143)
  • Al-Baydawi (m.1286 atau 1291)
  • Fakhr-al-Din al-Razi (m.1210)
  • Jalal-al-Din al-Mahalli (m.1459)
  • Jalal-al-Din al-Suyuti (m.1505)

2. Biografi Muhammad dari para muslim

Muhammad meninggal tahun 632M. Bahan-bahan tulisan paling awal mengenai hidupnya yang kita punyai ditulis oleh Ibn Ishaq tahun 750M, dengan kata lain seratus dua puluh tahun setelah kematian Muhammad. Pertanyaan tentang keotentikan menjadi makin penting karena bentuk asli dari karya Ibn Ishaq itu sendiri telah hilang dan hanya ada per bagian saja yang belakangan diterima oleh Ibn Hisham yang meninggal tahun 834M, 200 tahun setelah kematian sang nabi. Sumber-sumber lainnya adalah Sejarah karya Al-Tabari yang juga mengutip dari buku Ibn Ishaq. Berikut adalah sumber-sumber utama informasi mengenai kehidupan Muhammad:
  1. Ibn Ishaq (m. 768M). Selain biografi Muhammad, dia juga menulis sebuah sejarah para
  2. Kalifah yang dikutip oleh al-Tabari.
  3. Ibn Hisham (m. 834M) menulis ‘Sirah’ atau ‘Biografi Kehidupan Muhammad’, atau lebih tepatnya dia mengedit karya dari gurunya Ibn Ishaq.
  4. Sayf b. Umar (m. +/- 796) adalah sumber utama dari al-Tabari dalam hal tahun-tahun awal islam.
  5. Al-Waqidi (m. 823) juga menulis sebuah biografi sang Nabi dan peperangannya; banyak dikutip oleh al-Tabari dan al-Baladhuri (m. 829 M).
  6. Muhammad Ibn Sa’d (m.843) adalah kepala editor dari al-Waqidi dan penyusun dari sebuah kamus yang berupa biografi.
  7. Al-Tabari (m.923) adalah seorang berwawasan luas yang menulis banyak bidang ilmu (termasuk tafsir Quran), tapi karya yang paling terkenalnya adalah History of the Worlds, yang berlanjut sampai peristiwa di tahun pad bulan Juli 915.
  8. Ali b. Muhammad al-Madaini (m. 840) – tulisan pentingnya mengenai penaklukan Persia oleh Arab.

3. Hadits

Hadits atau kitab riwayat adalah sebuah kumpulan ucapan dan tindakan Muhammad yang ditulis berdasarkan para saksi yang mendengar atau melihat langsung atau mendengar dari orang yang menyaksikan langsung (untaian kesaksian ini disebut isnad, sementara isi kesaksiannya disebut matn). Di luar dari apa yang Muhammad lakukan dan ucapkan, hadits juga menuliskan tentang apa yang dilakukan orang-orang di hadapan Muhammad yang dia tidak larang, bahkan ucapan-ucapan para sahabat Nabi yang otoritatif. Istilah lain yang dipakai untuk kesaksian jenis ini disebut Sunnah, artinya kebiasaan apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan. Dengan demikian Sunnah Nabi berisi tindakan-tindakan, ucapan-ucapan dan bahkan persetujuan atau larangan yang tak diucapkan Muhammad. Seperti Wensinck katakan, “ketaatan pada Sunnah ini bisa diartikan dengan kata lain sebagai ‘meniru sang Nabi’. Dua istilah ini harus dibedakan satu dari yang lain. Hadits adalah komunikasi oral yang berasal dari nabi, sedangkan sunnah adalah kebiasaan normal dalam tata cara dan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan dalam praktek kehidupannya; Sunnah mengacu pada tujuan keagamaan atau masalah hukum (legal point) tanpa harus ada tradisi oral yang melandasinya. Dengan kata lain, suatu itu bisa dikatakan sebagai sunnah meskipun tidak ada hadits yang meriwayatkannya sekalipun.

Mungkin kaum awam dan non muslim tidak mengerti secara penuh bagaimana besarnya peran hadits ini berpengaruh dalam dunia islam. “Di seluruh dunia [Islam] Hadits dipegang sebagai referensi keramat setelah Qur'an. Dalam beberapa kasus bahkan dipercaya ada perkataan Allah langsung dalam hadits seperti juga ada pada Qur'an.” Kitab-kitab hadits ini bertindak sebagai dasar teoretikal bagi hukum islam dan dengan demikian bagi islam itu sendiri.

Dikatakan ada enam Hadis yang otentik/sahih dan benar yang diterima oleh muslim sunni, yaitu, kumpulan hadis :
(1) al-Bukhari (m. 870),
(2) Muslim ibn al-Hajjaj (m. 875),
(3) Ibn Maja (m. 887),
(4) Abu Dawud (m. 889),
(5) al-Tirmidhi (m.892) dan
(6) al-Nisai (m.915).

Kadang ditambahkan hadits dari Ahmed ibn Hanbal (m. 855), yang mana ensiklopedi haditsnya yang terkenal disebut Musnad Ahmad berisi hampir 29.000 kisah tradisi dan telah menjadi bahan bacaan suci bagi muslim.




Skeptisisme dan Keraguan

Kisah sejarah dan biografis mengenai Muhammad dan tahun-tahun awal Islam diperhadapkan pada pengujian yang seksama di akhir abad 19. Sebelum itu para akademisi sangat sadar akan adanya elemen legenda dan teologis dalam kisah-kisah ini, dan bahwa terdapat kisah-kisah yang sumbernya berasal dari sekumpulan orang yang niatnya hanya untuk “memberi kesan seolah-olah ada dasar sejarah pada orang-orang atau keluarga tertentu dalam kisah yang dituturkan; namun demikian setelah dianalisa dengan memilah-milah kisah-kisah itu, maka bisa dan cukup membuat kita membentuk sketsa yang lebih jelas mengenai kehidupan Muhammad dibandingkan dengan pendiri-pendiri agama lainnya.”[3] Namun ternyata ilusi ini dimentahkan oleh Wellhausen, Caetani dan Lammens yang menyebutkan “satu persatu data-data hadits itu patut dipertanyakan.

Wellhausen[4] membagi hadis-hadis kumpulan abad 9 dan 10 menjadi dua: pertama, hadis primitif yang sahih, yang pasti dicatat pada akhir abad 8, dan kedua, versi mirip yang kemungkinan ‘sengaja’ diciptakan atau dipalsukan untuk menyangkal hadits-hadits pertama tersebut. Yang versi kedua ini penuh dengan fiksi yang tendensius dan bisa ditemukan dalam karya sejarawan seperti Sayf b. Umar. Prince Caetani dan Father Lammens bahkan meragukan data yang sampai sekarang ini diterima sebagai data ‘objektif.’ Para penulis biografi Muhammad hidup terlalu jauh dari zamannya Muhammad untuk bisa mendapatkan data yang sebenar-benarnya; karena jauh dari objektivitas itu maka data-data mereka cenderung berupa fiksi-fiksi tendensius belaka. Lebih jauh lagi, tujuan para penulis biografi ini bukanlah untuk mengetahui hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, tapi untuk membangun sebuah pemikiran yang ideal dari asa lalu, kisah-kisah yang ‘seharusnya’ mereka pikir terjadi.

“Di atas kanvas telanjang ayat-ayat Qur'an yang masih memerlukan penjelasan, para tradisionalis telah menenun cerita-cerita hebat yang cocok dengan keinginan dan gagasan dari kelompok tertentu. Atau meminjam ungkapan favorit dari Lammens, mereka mengisi ruang-ruang kosong dengan sebuah proses stereotype yang membuat para pengamat kritis jadi tahu sumber asli penggambaran mereka.”[5] Seperti kata Lewis, “Lammens bertindak jauh hingga menolak seluruh biografi tersebut dan menganggapnya tidak lebih dari sekedar tafsir tendensius dan terkaan belaka dari beberapa ayat-ayat dalam Qur'an yang berisi kehidupan Muhammad, dikarang dan diperincikan oleh generasi-generasi muslim belakangan. [Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East. New York, 1990 hal.94]

“Bahkan sekalipun terdapat akademisi yang menolak keraguan ekstrim dari Caetani dan Lammens, mereka pun terpaksa untuk mengakui bahwa ‘kehidupan Muhammad sebelum kemunculannya sebagai utusan Allah, sangat sedikit sekali diketahui; jika dibanding dengan biografi legendarisnya yang diagung-agungkan oleh para muslim, malah bisa dikatakan hampir tidak ada.”[6]

Gagasan Caetani dan Lammens tidak pernah dilupakan, malah diambil oleh sekelompok islamologis Soviet dan membimbing mereka membuat kesimpulan ekstrim tapi logis. Pemikiran para akademisi Soviet mulai muncul ke permukaan di tahun 1970-an dan menghadapkan tantangan serius bagi kaum ortodox, entah pada orang-orang muslim maupun pada periset “kafir” konservatif. N.A. Morozov mengemukakan sebuah teori bahwa Islam tidak bisa dibedakan dari Yudaisme hingga sampai Perang Salib dan bahwa setelah itu sajalah Islam menerima karakter yang mandiri, sementara Muhammad dan para kalifah pertama cuma figur mitos belaka. Argumen Morozov yang dikemukakan dalam bukunya “Christ” tahun 1930, dirangkum oleh Smirnov:
Di abad pertengahan Islam hanyalah cabang dari Arianisme yang dibangkitkan karena kejadian meteorologis di laut Merah dekat Mekah; masih sedarah dengan pemujaan berhala Byzantine. Quran berisi jejak-jejak komposisi terakhir mereka, sampai abad 11. Semenanjung Arab tidaklah mampu melahirkan agama apapun – terlalu jauh dari daerah normal peradaban. Para Islamis Arian ini, yang dikenal pada abad Pertengahan sebagai Kaum Hagar, Kaum Ismail dan Saracen, tidaklah berbeda dengan orang-orang Yahudi sampai muncul dampak dari Perang Salib yang membuat mereka mengambil identitas terpisah. Semua cerita kehidupan dari Muhammad dan para penerus langsungnya adalah sama-sama samarnya (apokrif) dengan kisah Yesus dan para rasulnya. [7]

Sebagaimana akan kita diskusikan nanti, gagasan Morozov ini punya kemiripan kuat dengan pandangan mengejutkan yang dikemukakan sekelompok islamis Cambridge di tahun 1970-an. Di bawah pengaruh Morozov, Klimovich mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Did Muhammad Exist?” (Benarkah Muhammad Pernah Ada?)” (1930), dimana dia membuat argumen yang valid bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad berasal dari sumber-sumber yang begitu terlambat. Muhammad mestinya adalah fiksi belaka karena selalu diasumsikan bahwa setiap agama haruslah memiliki seorang pendirinya. Tolstoy membandingkan mitos Muhammad dengan ‘dukun yang didewakan’ dari suku Yakuts, Buryats dan Altays: “Fungsi sosial dari mitos ini adalah untuk mencegah perpecahan blok politik para pedagang, nomad dan petani, yang menjadikan aristokrasi feodal baru berkuasa.” Vinnikov juga membandingkan mitos Muhammad dengan shamanisme, menunjuk pada aspek primitif magis ritual-ritual demikian seperti ketika Muhammad harus diciprati air (ketika sedang melakukan chanelling - ket.penerjemah).[8]

Apa yang Caetani dan Lammens lakukan mengenai kritik kesejarahan atas biografi Muhammad, juga dilakukan oleh Ignaz Goldziher terhadap hadits. Goldziher telah menyumbangkan pengaruh besar di bidang studi islamik, dan bukan dibesar-besarkan jika dia dikatakan, bersama dengan Hurgronje dan Noldeke, sebagai ‘founding fathers’ (Bapak Pendiri) dari studi modern Islam. Pada prakteknya segala yang ia tulis antara 1870 dan 1920 masih dipelajari secara teliti di berbagai universitas seluruh dunia hingga kini. Dalam karyaklasiknya, “On the Development of the Hadith” (Tentang Perkembangan Hadis), Goldziher “mendemonstrasikan bahwa sejumlah besar hadits yang diterima dalam sebuah kumpulan hadits paling ketat sekalipun ternyata suatu karya pemalsuan yang jelas-jelas terjadi dari abad 8 dan 9 – dan sebagai akibatnya, para saksi yang katanya secara teliti meriwayatkannya (isnad) juga fiksi belaka.” [9]

Diperhadapkan pada argumen-argumen Goldziher yang terdokumentasi tanpa cela, para sejarawan menjadi panik dan merancang jalan keluar palsu untuk tetap mempertahankan adanya keraguan akan argumen-argumen tersebut, seperti, mendalilkan perbedaan ad hoc antara hadits sejarah dan hukum. Tapi seperti kata Humphrey [10] dalam struktur formalnya, hadits hukum dan hadis sejarah sangatlah sama; terlebih banyak akademisi muslim abad 8 dan 9 mengerjakan juga kedua jenis hadits tsb. “Jadi semuanya, jika isnad para hadits itu dicurigai palsu, maka begitu pula para isnad yang terkait dengan laporan-laporan historis itu”.
Sebagaimana Goldziher katakan [11] “penelaahan lebih dekat atas sejumlah besar hadits menimbulkan peringatan akan keraguan”, dan dia menganggap sejauh ini sebagian besar hadits “adalah hasil pengembangan religius, historis dan sosial dari islam selama dua abad pertama.” Jika dijadikan dasar historis saintifik, maka hadits sama sekali tidak berguna, ia hanya bisa berfungsi sebagai sebuah ‘cerminan kecenderungan’ dari komunitas muslim awal.

Di sini saya harus mengungkapkan aib sejarah islam jika kita ingin mendapatkan pengertian yang benar atas argumen dari Goldziher. Setelah kematian Muhammad, empat sahabatnya menggantikan dia sebagai pemimpin komunitas muslim. Yang terakhir dari empat orang itu adalah Ali, sepupu sang nabi dan sekaligus menantunya. Ali tidak mampu menerapkan kekuasaannya di Siria di mana Gubernur Muawiya memakai teriakan perang “Balaskan dendam Usman” melawan Ali. (Muawiya dan Usman bersaudara dan keduanya dari klan Umayya Mekah). Kekuatan kedua belah pihak bertemu dalam sebuah peperangan di Siffin. Setelah pembunuhan Ali tahun 661, Muawiya menjadi kalifah pertama dinastinya yang dikenal sebagai Dinasti Umayyad, bertahan hingga 750M. Dinasti Umayyad disingkirkan oleh Abbasid, yang bertahan di Irak dan Baghdad sampai abad 13.

Selama tahun-tahun pertama Dinasti Umayyad, banyak muslim sama sekali tidak tahu mengenai doktrin dan ritual-ritualnya. Penguasanya sendiri hanya punya antusias sedikit akan agama dan umumnya membenci para alim ulama. Akibatnya bangkitlah sekelompok alim ulama yang tanpa malu-malu mengarang-ngarang hadits-hadits demi kebaikan komunitasnya sendiri dan mengaitkan hadits-hadits tersebut sebagai ucapan dan tindakan sang nabi. Mereka menentang Dinasti Umayyad yang ‘sesat’ tapi tidak berani terang-terangan, jadi mereka lalu mengarang hadits-hadits yang didedikasikan untuk memuji-muji keluarga sang nabi, dengan demikian secara tidak langsung mereka menetapkan kesetiaan mereka pada pihak pendukung Ali. Sebagaimana Goldziher menyatakan: [12] “Penguasa sendiri tidaklah berpangku tangan. Jika mereka mau pendapat mereka sendiri diakui kaum awam dan pihak penentang dibungkam, maka mereka juga tahu bagaimana caranya mengarang hadis yang membantu menguntungkan pihak mereka. Mereka harus melakukan apa yang lawan mereka lakukan: mengarang dan mengarang dan mengarang lagi hadits-hadits untuk keuntungan mereka. Dan itulah yang mereka lakukan.” Goldziher melanjutkan:
Pengaruh resmi penguasa dalam hal karang-mengarang dan penyebaran hadits serta pemberangusan lawan dimulai lebih awal. Sebuah instruksi diberikan pada gubernur setianya al-Mughira oleh Muawiya dengan semangat kebangkitan bagi kaum Umayyad: “Jangan bosan mengganyang dan menghina Ali dan menyerukan kemurahan Allahnya Usman, menjelekkan sahabat-sahabat Ali, ganti mereka dan jangan dengarkan mereka (yakni apa yang mereka katakan dan nyatakan sebagai hadits), sebaliknya terpujilah klan Usman, rangkullah klan Usman dan dengarkan mereka.” Inilah pernyataan resmi untuk membangkitkan dan menyebarkan hadits yang menentang Ali dan menahan juga menghilangkan hadits-hadits yang berpihak pada Ali. Kaum Umayyad dan para pengikut politik mereka tidak keberatan mengarang kebohongan dalam bentuk teks keagamaan, dan mereka hanya menaruh perhatian untuk mencari alim ulama yang siap dan mau menutupi kepalsuan-kepalsuan tersebut. Dan mereka tidak pernah kekurangan alim ulama yg demikian. [13]

Hadits mudah dikarang-karang bahkan untuk rincian ritualistik paling sepele sekalipun. Kecenderungan demikian termasuk memberangus atau menghilangkan hadits-hadits yang sudah ada tapi seakan memihak pada dinasti lawan. Di bawah pemerintahan Abbasid karang mengarang hadis ini tambah menggila, dengan tujuan utama membuktikan legitimasi klan mereka dari klan lawan. Contohnya, sang Nabi dikatakan pernah mengatakan pada Abu Talib, ayahnya Ali, yang sedang duduk dalam-dalam di neraka: “Mungkin doaku akan berguna baginya pada hari kiamat agar dia bisa dipindahkan ke dalam kolam api yang dalamnya hanya semata kaki tapi masih cukup panas untuk membakar otaknya”.

Tentu saja hal ini dilawan oleh para teolog kelompok Ali dengan mengarang sejumlah hadits lain yang menceritakan kemuliaan dari Abu Talib, semuanya itu katanya diucapkan oleh sang Nabi. Malah, seperti Goldziher tunjukkan, di antara faksi lawan “Pemakaian menyimpang hadits-hadits tendensius ini malah menjadi makin biasa oleh mereka dibanding oleh pemerintahan resmi yang berkuasa.” [14]

Akhirnya para periwayat kisah hadits adalah pihak yang diuntungkan, mereka hidup makmur dengan menciptakan hadits-hadits yang menyenangkan pihak tertentu, yang oleh masa pengikutnya dilahap dengan lapar, tanpa daya kritis. Untuk menarik perhatian masyarakat para periwayat hadits ini tak segan-segan memulai dari nol. “Cara periwayatan hadis dengan cepat merosot jadi mirip bisnis belaka. Perjalanan-perjalanan (untuk mencari hadis) dilakukan oleh orang-orang tamak yang mengaku berhasil mendapatkan sebuah sumber hadits, dan dengan munculnya kebutuhan hadits yang begitu besar saat itu muncul juga hasrat mereka untuk dibayar bagi tiap hadits yang mereka berikan”. [15]

Tentu saja banyak pula muslim yang sadar akan banyaknya pemalsuan ini. Tapi bahkan yang disebut-sebut dengan enam kumpulan Hadits Shahih karya al-Bukhari dan yang lain-lainpun ternyata tidaklah sebegitu teliti seperti yang diharapkan. Keenamnya memiliki kriteria yang berbeda-beda untuk memilah-milah sebuah hadits sebagai shahih atau tidak: ada yang lebih liberal dalam pemilihannya, yang lain malah lebih sewenang-wenang. Lalu ada lagi masalah keaslian dari teks-teks para pengumpul hadits ini. Contoh, dalam satu waktu pernah ada satu lusin hadits Bukhari yang berbeda menyoal hal yang sama, dan di luar dari perbedaan-perbedaan ini, terdapat penyisipan-penyisipan yang disengaja. Goldziher memperingatkan, “salah sekali jika berpikir bahwa otoritas kanonikal dari dua hadits (Bukhari dan Muslim) itu didapatkan karena kebenaran yang sudah tak dipersoalkan lagi dalam kontek-kontek tulisan mereka dan karena hasil dari penyelidikan para alim ulama.” [16] Bahkan kritik pada abad 10 menunjukkan adanya kelemahan pada dua ratus hadits yang merupakan karya dari Muslim dan Bukhari.

Argumen Goldziher ini diteruskan penyidikannya hampir 60 tahun kemudian oleh para ahli islam besar, di antaranya Joseph Schacht, yang karyanya dalam hukum Islam dianggap sebagai karya klasik di bidang Kajian Islam. Kesimpulan Schacht bahkan lebih radikal dan meresahkan, implikasi penuh dari kesimpulan-kesimpulan ini sampai sekarang belum kunjung reda.
Humphrey [17] merangkum tesis Schacht sebagai berikut:
  1. bahwa cara para isnad (periwayat) mengacu pada ucapan sang nabi hanya dimulai secara luas pada jaman Revolusi Abbasid – yakni pertengahan abad 8;
  2. bahwa ironisnya, semakin teliti dan benar secara formal isnad itu tampaknya, semakin mungkin keterangannya itu palsu. Secara umum dia menyimpulkan, tidak ada satupun hadits yang bisa diandalkan dianggap benar-benar berasal dari sang nabi, meski beberapa di antaranya mungkin berakar pada ajaran-ajarannya. Dan meskipun Schacht mengabdikan hanya sedikit halaman saja dalam karyanya atas laporan-laporan sejarah tentang para kalifah awal, tapi dia secara jelas menyatakan bahwa “kritik pedas yang sama seharusnya diterapkan juga pada mereka”. Argumen Schacht didukung oleh banyak referensi hebat yang tidak mudah untuk diabaikan.
Schacht [18] sendiri merangkum tesisnya sebagai berikut:
Secara umum diakui bahwa kritik terhadap catatan dalam Tradisi Islam seperti yang dilakukan para akademisi Muhammadan itu belumlah cukup, dan bahwa sekalipun banyak catatan palsu telah disingkirkan, tetap saja kumpulan tradsi mengandung banyak tradisi yang tidak mungkin shahih lagi. Semua usaha untuk mengurangi hadits yang palsu dari kumpulan hadits yang ada sering menjadi kontradiksi bagi hadits itu sendiri sehingga hadits yang sejatinya dianggap ‘institusi histories’ telah gagal. Goldziher, dalam karya fundamental lainnya bukan hanya menyuarakan keraguannya akan hadits yang terdapat dalam kumpulan klasik (seperti Bukhari, Muslim dll), tapi juga menunjukkan secara positif bahwa sebagian besar hadits yang didokumentasikan bukanlah berasal dari zaman yang sesuai dengan yang diceritakan hadits tersebut, tetapi dari tahap lanjutan pengembangan doktrin di abad pertama Islam. Penemuan brillian ini menjadi batu penjuru semua penyelidikan-penyelidikan serius lainnya.

Buku ini (karya Schacht) akan memastikan kesimpulan-kesimpulan dari Goldziher, dan malah melebihi itu dalam hal-hal sebagai berikut: Banyak hadits klasik dan kumpulan hadits lainnya disebarkan hanya setelah jaman Shafi’I (Shafi’I adalahpendiri dari sekolah hukum penting yang memakai namanya; dia meninggal tahun 820M); kumpulan resmi pertama tentang hadis sahih yang berasal dari pertengahan abad kedua Hijriah (abad 8 M), berlawanan dengan hadits-hadits para sahabat nabi dan otoritas lain yang sedikit lebih awal kemunculannya, dan dengan tradisi-tradisi yang masih beredar dari golongan-golongan hukum yang lebih tua; kisah-kisah tradisi dari para sahabat nabi dan otoritas lainnya mengalami proses perkembangan yang sama; para isnadnya menunjukkan kecenderungan untuk memundur tahun dalam periwayatannya dan mengklaim otoritas yang lebih tinggi lagi sampai pada zaman sang nabi; bukti-bukti hadits legal ini ternyata hanya membawa kita sampai ke tahun 100 H (722M) saja.

Schacht membuktikan bahwa suatu hadits sesungguhnya tidak pernah ada pada waktu tertentu, contoh, dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak digunakan sebagai argumen hukum dalam sebuah diskusi yang terjadi di zaman tersebut yang mana seharusnya disebutkan jika hadits itu memang benar-benar ada. Bagi Schacht setiap hadits legal dari nabi harus dianggap sebagai tidak sah dan berupa ungkapan karangan dari sebuah doktrin legal yang dirumuskan di waktu terkemudian saja: “Kita tidak akan menemukan hadits legal dari sang nabi yang bisa dianggap shahih secara meyakinkan”. [19]

Hadits-hadits dibentuk secara polemik untuk menyanggah doktrin atau praktek berlawanan dari si pembuat; Schacht menyebut hadits-hadits ini sebagai “hadits tandingan”. Doktrin-doktrin yang dipertentangkan sering dikembalikan pada otoritas yang lebih tinggi: “Hadits-hadits dari penerus sahabat nabi diakui menjadi hadits-hadits dari para sahabat nabi, dan hadits-hadits dari sahabat diakui menjadi hadits dari sang nabi sendiri”. Detil dari kehidupan sang nabi diciptakan untuk mendukung doktrin-doktrin legal ini.

Schacht lalu mengkritisi para isnad (rantai transmisi): “mereka sering dicomot secara acak mengumpulkannya secara serampangan. Setiap perwakilan kelompok yang doktrinnya diproyeksikan kembali pada otoritas lama, diambil secara acak dan dipasangkan pada sang isnadnya. Dengan begitu kita bisa temukan sejumlah nama berbeda yang dikaitkan terhadap para isnad yang sama”.

Schacht menunjukkan bahwa dimulainya hukum-hukum Islam tidaklah dapat ditelusuri mundur ke dalam tradisi islam lebih jauh dari satu abad setelah kematian sang nabi”. [20] Hukum Islam tidak langsung berasal dari Qur'an tapi berupa hasil pengembangan dari praktek yang popular dan administratif di bawah kekuasaan Ummayad, dan ‘praktek-praktek ini sering menyimpang niatnya dari perkataan Qur'an, bahkan kadang dari kata-kata dalam Qur'an yang paling jelas sekalipun”. Norma-norma yang dihasilkan dari Qur'an dikenalkan ke dalam Hukum Islam pada tahap kedua.

Sekelompok akademisi yakin kekuatan esensial dari analisis Schacht dan meneruskan menganalisa sepenuhnya implikasi dari argumen Schacht ini. Yang pertama dari para akademisi ini adalah John Wansbrough, yang dalam dua karya pentingnya, meski termasuk buku yang berat, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretaion (1977) dan The Sectarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History (1978), menunjukkan bahwa Qur'an dan Hadits menumbuhkan kontroversi sektarian dalam periode yang panjang – mungkin selama dua abad – lalu diproyeksikan kembali ke dalam sebuah titik asal yang berlatar belakang Arab yang direkayasa. [21] Dia lalu menyatakan bahwa Islam muncul hanya ketika berhubungan dengan dan di bawah pengaruh rabbinikal Yudaisme. “Bahwa doktrin islam secara umum dan bahkan figur Muhammad sendiri, dibentuk dalam sebuah prototype Rabbi Yahudi.” “Dari kesimpulan ini, buku The Sectarian Milieumenganalisa historiografi Islamik awal, atau bisa disebut mitos-mitos yang mendasari historiografisnya – sebagai sebuah perwujudan ‘sejarah keselamatan’ ala Perjanjian Lama.

Sekali lagi, untuk memahami argumen Wansbrough kita perlu melihat kisah tradisi islam tentang proses pengumpulan Qur'an. Masalahnya adalah tidak hanya ada kisah tapi ada beberapa kisah yang tidak sama menyoal hal itu. Menurut satu kisah ketika Abu Bakar menjadi Kalifah (632-634), Umar, yang lalu menjadi Kalifah menggantikan Abu Bakar, khawatir akan banyaknya muslim yang hafal Qur'an telah terbunuh dalam peperangan Yamama, Arab Tengah. Ada bahaya yang tak terhindarkan sebagian dari Qur'an akan hilang kecuali jika dilakukan pengumpulan ayat-ayat Quran sebelum mereka yang hafal Quran terbunuh semuanya. Abu Bakar akhirnya memberi ijin untuk proyek ini dan meminta Zayd ibn Thabit, bekas sekretaris sang Nabi untuk memimpin tugas ini. Lalu Zayd mengumpulkan Quran “mulai dari potongan papirus, batu, daun korma, kulit binatang, kayu dan lain lain, juga dari hafalan orang-orang.” Setelah selesai lengkap Qur'an itu diserahkan pada Abu Bakar dan ketika meninggal diserahkan pada Umar, ketika Umar meninggal diserahkan pada anak perempuannya, Hafsa.

Namun, ada versi-versi berbeda dari kisah ini – sebagian mengatakan Umarlah yang berjasa mengumpulkan Qur'an, yang lain mengatakan Ali, kalifah keempat, yang berjasa. Lagipula tidak ada bukti meyakinkan bahwa mereka yang meninggal itu benar-benar hafal Qur'an. Juga sepertinya tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu (dua tahun saja) tugas sesulit dan sepenting itu bisa diselesaikan. Kita harusnya mengharap pengumpulan demikian memiliki semacam lembaga otoritas resmi, namun tidak kita temukan pengakuan lembaga otoritas tersebut dalam Qur'an versi Abu Bakar. Malah di provinsi yang berbeda kumpulan Qur'an versi lain juga dianggap resmi. Sepertinya tidak mungkin sebuah Qur'an resmi akan diberikan pada anak perempuan Umar untuk disimpan. Sangat mungkin kisah pengumpulan Qur'an di bawah kekuasaan Abu Bakar ini hanyalah karangan belaka dan disebarkan oleh musuh-musuh kalifah ketiga, Usman, untuk menyingkirkan sebagian kejayaan Usman karena telah berhasil mengumpulkan kumpulan Qur'an terlengkap untuk pertama kali.

Menurut kisah tradisional, langkah selanjutnya diambil di bawah kepemimpinan Usman (644-656). Salah seorang jendral Usman meminta sang kalifah untuk membuat kumpulan Qur'an karena perselisihan serius telah terjadi di antara pasukan beda provinsi mengenai cara pelafalan Qur'an yang benar. Usman menunjuk Zayd ibn Thabit untuk menyiapkan kitab resmi tersebut. Zayd dengan teliti meneliti Qur'an, membandingkan versinya dengan ‘peninggalan’ yang dimiliki anak perempuannya Umar; dan seperti telah diperintahkan, ketika menemui kesulitan dalam hal pembacaan, Zayd memakai dialek Quraish, suku sang nabi. Salinan dari versi baru ini, yang mestinya telah selesai antara tahun 650 dan 656 (tahun kematian Usman), dikirim ke Kufa, Basra, Damascus, dan mungkin juga ke Mekah; dan tentu saja satu lagi disimpan di Medina. Semua versi Qur'an lain diperintahkan untuk dihancurkan. Kejadian ini juga tidak lepas dari kritik. Kita tidak yakin akan Qur'an ‘peninggalan’ yang Hafsa, anak perempuan Umar, miliki. Jumlah orang yang bekerja dalam proyek ini juga berbeda-beda; bahasa Arab yang ditemukan dalam Qur'an bukanlah sebuah bahasa dialek, dan seterusnya.

Meski demikian, versi kisah terakhir inilah yang bertahan, tapi seperti Michael Cook nyatakan, “pilihannya agaknya sama sekali tidak jelas; kisah yang sebenarnya mungkin ada tersisip di antara banyak kisah-kisah itu, atau bisa jadi semua kisah itu tidaklah benar”. [22]

Bagi muslim ortodoks saat ini, Qur'an yang kita miliki adalah yang ditetapkan di bawah pemerintahan Usman abad ke-7. “Muslim ortodoks percaya bahwa Qur'an versi Usman ini berisi semua wahyu yang disampaikan dan dipelihara tanpa perubahan atau variasi apapun, dan bahwa penerimaan Qur'an Usman ini disambut secara universal sejak hari penyebarannya. Namun sikap muslim ortodoks ini termotivasi oleh faktor dogmatis semata; tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah”. [23]

Ini membawa kita pada penolakan Wansbrough akan kisah-kisah tradisional sebelumnya. Wansbrough menunjukkan bahwa jauh sebelum dipastikan di abad 7, teks definitif dari Qur'an belum ada sampai akhir abad 9. Islam yang asli yang sepenuhnya buatan Arab sangatlah tak mungkin; orang-orang Arab secara perlahan memformulasikan dalil-dalil mereka seiring kontak mereka dengan Yudaisme di luar Hijaz (Arab tengah, terdiri dari Mekah dan Medinah).

Kiasan-kiasan Qur'an mengisyaratkan terbiasanya mereka dengan materi-materi naratif Yudeo-Kristen, yang tidak terformulasi dengan baik, hanya berupa rujukan-rujukan saja…. Dilihat secara keseluruhan, dari jumlah referensi, pengulangan penggunaan repetitive mekanis dari kaidah retoris, dan gaya polemisnya, semua mengesankan: adanya sebuah atmosfir sektarian yang kuat yang mana sebuah kumpulan ayat-ayat yang sudah dikenal dipaksakan ke dalam sebuah fungsi doktrin yang belum begitu dikenal. [24]

Di tempat lain Wansbrough mengatakan, “tantangan untuk menghasilkan ayat yang lebih baik atau sama dengan itu, yang diungkapkan lima kali dalam Quran, hanya dapat dijelaskan dalam konteks polemik Yahudi”. [25]

Akademisi lebih awal seperti Torrey, yang mengakui kebenaran pencontekan Quran dari literatur rabbinic, telah menyimpulkan tentang populasi Yahudi di Hijaz (Arab Tengah). Tapi seperti kata Wansbrough, “referensi dari literatur Rabbinik bagi kaum Arab sangatlah sedikit sekali jasanya untuk tujuan rekonstruksi sejarah, dan khususnya untuk daerah Hijaz di abad 6 dan 7”. [26]

Karena banyak dipengaruhi kisah-kisah rabbinic, komunitas muslim awal mengambil Musa sebagai suri tauladan dan kemudian gambaran Muhammad muncul – tapi hanya secara pelahan dan sebagai tanggapan akan keperluan dari sebuah komunitas religius. Kebutuhan dan hasrat menggebu untuk menetapkan Muhammad sebagai nabi dalam model Musa membuatnya harus mempunyai kitab suci, yang akan dipandang sebagai kesaksian dari kenabiannya. Perkembangan pelahan lain adalah munculnya ide Islam asli buatan Arab. Untuk ini, ada penguraian konsep bahasa suci, lingua sacra, Bahasa Arab. Qur'an katanya diturunkan dari Allah dalam Bahasa Arab murni. Sangat penting jika abad ke-9 juga punya kumpulan puisi-puisi berbahasa Arab: “Sikap menyelewengkan materi-materi ini oleh para pengumpul untuk mendukung semua argumen yang muncul ini tidak pernah secara berhasil disembunyikan secara sempurna” [27] Dengan ini para ahli bahasa muslim mampu memberi tanggal yang lebih awal pada, contoh, sebuah puisi yang dianggap berasal dari Nabigha Jadi, sebuah puisi pra-islam, hanya agar “menyediakan sebuah teks contoh pra-islam untuk dibandingkan dengan konstruksi Bahasa Qur'an” Tujuan menampilkan puisi-puisi pra-islam ada dua: pertama, memberi kesan kuno pada ayat suci mereka, jadi agar bisa mendorong dan menempatkan ayat-ayat keramat ini ke periode-periode awal, dan dengan demikian, memberi otentisitas yang lebih besar pada sebuah teks yang sebenarnya hasil karangan, bersama-sama dengan hadits-hadits pendukungnya di abad ke-9.

Tujuan dari memberi kesan otoritas puisi pra-Islam, demi untuk menyediakan bukti teks pra-islam sebagai konstruksi umum Qur'anic adalah dua hal: pertama, untuk menyediakan otoritas ‘kuno’ terhadap kitab suci mereka, untuk mendorong teks suci ini ke periode lebih awal, dan kemudian memberi kesan kitab suci mereka lebih otentik; padahal hanyalah teks-teks yang kenyataannya dikarang bersamaan dengan tradisi-tradisi yang menopangnya di abad 9 M. Kedua, hal itu memberi kesan latar belakang Arabia bagi agama mereka, yang membuatnya berbeda dari Yudaisme dan Kristen. Tradisi tafsir juga sama-sama fiksinya dan punya satu tujuan saja yaitu untuk mendemonstrasikan kesan ‘asal-usul dari Hijaz’ pada Islam. Wansbrough memberi bukti-bukti negatif untuk menunjukkan bahwa Qur'an belum mencapai bentuk definitifnya sebelum abad-9.

Studi Schacht akan perkembangan awal doktrin legal dalam komunitas muslim menunjukkan bahwa hanya dengan sedikit perkecualian, fiqh atau ilmu hukum Islam bukan berasal dari ayat-ayat Qur'an. Ditambahkan juga perkecualian-pengecualian itu sendiri merupakan bukti kuat akan ketiadaan kanon Qur'an, dan lebih jauh ditelaah bahwa bahkan di tempat di mana doktrin itu diakui dihasilkan dari ayat tertentu, tetap saja bukan menjadi bukti akan adanya ayat-ayat sumber itu lebih dulu. Munculnya hukum yang berasal dari ayat-ayat adalah sebuah fenomena di abad ke-9. Bukti-bukti negatif yang sama juga adalah tidak adanya referensi apapun pada Qur'an dalam Fiqih Akbar I. [28]

Fiqih Akbar I adalah sebuah dokumen, tertanggal pertengahan abad ke-8, yang menjadi semacam syahadat muslim dalam menghadapi masalah sekte-sekte. Dengan demikian Fiqih Akbar I mewakili pandangan-pandangan ortodoks atas pertanyaan-pertanyaan yang nantinya menyangkut dogmatika penting. Sepertinya tak terpikirkan, seandainya Qur'an sudah ada pada saat itu (dalam bentuk definitif seperti yang kita miliki saat ini), tapi tidak disebut sebagai referensi dalam tulisan-tulisan saat itu.

Wansbrough memperhadapkan qur'an pada analisa teknis tingkat tinggi dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa Qur'an tidaklah dengan sengaja diedit oleh segelintir orang, tapi agaknya suatu produk dari perkembangan organis dari tradisi-tradisi yang awalnya independen selama perioda panjang transmisinya”.
Wansbrough sudah mementahkan gagasan bahwa Qur'an adalah satu-satunya harapan untuk mendapatkan sejarah asli dari sang nabi seperti yang dipercayai oleh Jeffrey:[29] “Catatan dominan yang muncul dalam kritisisme tingkat lanjut adalah ‘kembali ke Qur'an’. Sebagai basis dari kritik biografi kisah-kisah tradisi secara praktis tidak berguna, hanya dalam qur'an sajalah bisa kita katakan memiliki dasar yang cukup kuat”.
Namun seperti yang ditunjukkan oleh Wansbrough: “Peran Qur'an dalam menggambarkan seorang nabi Arab tipis sekali; hanya berupa penggambaran komunikasi ilahi tapi bukan laporan dari fakta kondisinya. Penekanan data biografis dalam Qur'an tergantung pada prinsip-prinsip tafsir yang dihasilkan dari materi di luar teks-teks quran sendiri”. [30]

Sekelompok akademisi yang terpengaruh dengan analisa Wansbrough mengambil pendekatan lebih radikal: mereka menolak seluruh sejarah islam awal dari tradisi islam. Michael Cook, Patricia Crone dan Martin Hinds menulis antara tahun 1977 dan 1987.
Menganggap seluruh sejarah versi islam sampai zaman Abd al-Malik (685-705) sebagai rekayasa belakangan belaka, dan rekonstruksi Penaklukan Arab serta terbentuknya kekalifahan sebagai sebuah gerakan semenanjung Arab yang terilhami oleh Messianisme Yahudi yang mencoba merebut kembali tanah perjanjian. Dalam tafsir ini, Islam muncul hanya sebagai sebuah agama dan budaya yang mandiri dalam proses panjang perjuangan mendapatkan identitas di antara orang-orang berbeda yang tersatukan oleh penaklukan-penaklukan, yaitu: Jacobite Syrian, Nestorian Aramanean di Irak, Koptik, Yahudi dan (terakhir) Semenanjung Arab. [31]

Sebelum melihat argumen mereka secara rinci, kita sekali lagi perlu tahu kisah tradisional tentang kehidupan Muhammad dan bangkitnya Islam, sebelum kita mempertimbangkan kemungkinannya. Muhammad lahir mungkin tahun 570 M di Mekah, dalam sebuah keluarga yang dulunya pernah cukup kuat dan sangat dihormati, tapi jatuh ke dalam masa-masa sulit yaitu : bani Hashim dari suku Quraish. Muhammad tumbuh besar sebagai anak yatim dan dibesarkan oleh pamannya Abu Talib, yang dengannya Muhammad disebutkan bepergian dagang ke Syria. Dia mulai bekerja sebagai agen dagang kepada seorang janda kaya, Khadijah. Perusahaan itu makmur dan akhirnya dia menikahi sang janda.

Ketika bertapa di gua Hira, sebagaimana kebiasaannya, Muhammad mendapat penampakan, yang pada akhirnya meyakinkan dia bahwa Allah khusus mengangkat dia sebagai utusan-Nya. Pada tahun 610 M, dia menceritakan pengalamannya ini pada kerabat dan teman dekatnya dan tiga tahun kemudian dia diperintahkan oleh Allah, sesembahannya, untuk berbicara secara lebih terbuka pada umum. Kaum pagan Mekah masih mentoleransi dia sampai dia mulai menghina ilah-ilah mereka. Mekah saat itu merupakan pusat dagang yang maju, mendapatkan kontrol banyak rute dagang. Jadi perlawanan terhadap Muhammad datang dari pedagang kaya yang takut akan kesuksesan Muhammad dan benci akan kritik-kritiknya mengenai gaya hidup mereka. Pada awalnya Muhammad sepertinya mau mengkompromikan monoteismenya, dia berdamai dengan orang Mekah. Inilah kejadian yang diceritakan kembali dalam novel The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan, Salman Rusdhie), dan karena kisah itu berasal dari sumber-sumber Muslim yang bisa diandalkan (al-Tabari, Ibn Sa’d), Muslim tidak bisa menyalahkan “kafir” karena hal ini.

Sementara Muhammad masih berharap untuk berkompromi dengan para pedagang Mekah dia menerima sebuah wahyu yang berkata bahwa berhala sembahan orang Mekah yang paling favorit yaitu al-Lat, al- Uzza dan al-Manat bisa dijadikan sebagai dewa/sesembahan lain yang perantaraannya efektif berpengaruh pada Allah. Tapi segera Muhammad menyadari ayat-ayat ini sebagai penyisipan dari Setan dan menerima pewahyuan berikutnya yang membatalkan ayat-ayat setan tersebut, namun ayat itu tetap menyertakan nama para dewi itu, hanya menambahkan bahwa tidak adil Allah punya anak perempuan sementara manusia punya anak lelaki (Surah 53.19-22). (Ket: karena pada zaman itu anak lelaki dinilai lebih berharga daripada anak perempuan). Selama periode ini para pedagang kaya Mekah mungkin diboikot oleh Muhammad dan seluruh keluarganya. Setelah kematian pamannya Abu Talib dan istrinya Khadijah, posisi Muhammad makin tidak tertopang lagi, dia berusaha membuktikan kenabian dirinya di Taif namun tanpa hasil.


Hijrah ke Medina, 622M

Muhammad bertemu sekelompok orang dari Oasis di Yathrib (atau belakangan dinamakan Medinah), yang sadar bahwa Muhammad mungkin bisa menolong mereka keluar dari masalah politis domestik. Mereka belajar islam dari Muhammad dan kembali ke Medinah untuk mendakwahkan agama baru ini. Tahun 622, sekelompok besar orang Medinah menyatakan dukungannya dan setuju memberi dia perlindungan. Muhammad mendorong para pendukungnya yang di Mekah untuk pindah ke Medinah, sementara dia sendiri jadi orang terakhir yang pindah. Migrasi nabi ini (atau Hijrah) belakangan diambil sebagai titik awal penanggalan Islam. (Menurut tradisi muslim, Hijrah terjadi bulan September 622; namun era muslim dimulai pada awal tahun Arab dimana Hijrah terjadi, yakni 16 Juli 622).

Medinah pada saat kedatangan Muhammad dihuni oleh delapan suku besar Arab dan tiga klan utama Yahudi. Selama bertahun-tahun terjadi perang saudara antar suku, puncaknya adalah peperangan besar tahun 618, dimana banyak yang terbunuh. Dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas politik, Muhammad menetapkan sebuah komunitas atau ummah yang terdiri dari para pengikut dari Mekah dan orang-orang Madinah. Semua masalah penting dihadapkan padanya dan sesembahannya. Semua peraturan baru dituangkan dalam sebuah dokumen yang disebut Piagam Madinah, dan seperti kata Cook, “[Salah satu minat utama] dari masing-masing pihak dalam dokumen itu adalah untuk berperang”.

Setelah enam bulan berada di Medinah, Muhammad mulai mengirimkan pasukan-pasukan rampoknya untuk menyerang dan merampas karavan-karavan Mekah yang menuju Siria. Gagal pada usaha pertamanya, orang-orang Muhammad akhirnya mampu menyergap sebuah karavan Mekah dengan cara menyerangnya di bulan suci. Muhammad mengambil seperlima harta jarahan. Mulanya orang-orang Medina kaget dengan dinodainya bulan suci itu, tapi akhirnya salah satu pemimpin mereka mendukung Muhammad dan bahkan ikut berperan serta dalam perampokan itu.

Kira-kira pada saat ini hubungan Muhammad dengan orang Yahudi menjadi semakin tegang. Awalnya dia berharap bisa diterima sebagai nabi mereka, karena dia selalu menekankan bahwa pesan-pesannya tidak beda dengan yang diberikan oleh Musa; lagipula dia telah mengambil banyak praktek-praktek orang Yahudi. Tapi ketika orang Yahudi menolak mengakui dia sebagai nabi sejati, Muhammad mulai mengembangkan gagasan agama Abraham dan melepaskan diri dari Yudaisme dan KeKristenan. Islam, akunya, menjadi agama yg bebas yang jauh lebih superior dari kedua dalil agama monoteistik itu. Pada akhirnya, orang Yahudi hanya diberi pilihan : entah diusir dari Medina maka dibantai habis.

Muhammad mengetahui akan adanya karavan Mekah membawa harta banyak yang akan melintas, dan dia memutuskan untuk menyerangnya di Badar. Orang Mekah tahu juga rencana Muhammad ini dan mengumpulkan pasukan yang tangguh untuk memberi pelajaran pada para muslim perampok itu. Meski orang-orang muslim kaget ketika menyadari mereka sedang berhadapan dengan pasukan tentara, bukan cuma karavan dagang biasa, tapi mereka disemangati oleh Allah dan akhirnya memenangkan perang tersebut di tahun 624 (ket : yang disebut perang Badar, meskipun sejujurnya ini hanyalah perampokan belaka.) Beberapa tawanan ditangkap, dua orang dieksekusi atas perintah Muhammad – salah seorang darinya bukan lain adalah al-Nadr, yang pernah mengesalkan Muhammad dengan bercerita (berkisah atau berpuisi) yang lebih baik darinya di Mekah.

Pada tahun berikutnya, orang-orang Mekah dipimpin oleh Abu Sufyan berhasil membalaskan dendam ketika mengalahkan pasukan Muslim di perang Uhud. Muhammad masih melanjutkan perampokannya sampai dua tahun berikutnya, sementara orang-orang Mekah menyiapkan serangan habis-habisan. Di tahun 627, orang Mekah mengepung muslim selama dua minggu tapi kemudian mundur karena tidak mampu menembus penghalang berupa parit-parit yang digali oleh para muslim atas saran Salman si orang Persia. Ketika orang Mekah mundur, Muhammad memutuskan menyerang suku Yahudi yang tersisa, Bani Qurayza, yang akhirnya menyerah. Para lelaki suku ini semuanya dihukum mati (konon sekitar 900 orang), dan perempuan serta anak-anak dijadikan budak atau dijual.

Tahun berikutnya, 628 M, Muhammad menandatangani Perjanjian al-Hudaybiya, dimana para muslim diijinkan untuk melakukan ibadah haji pada tahun berikutnya. Saat ini Muhammad sudah cukup berkuasa untuk mencoba mengambil alih Mekah. Ini dia lakukan tahun 630, dengan sedikit pertumpahan darah. Dia mengkonsolidasikan kekuasaannya di Arab Tengah, dan akhirnya seluruh suku Arab menyerah padanya.
Jelas jika kita baca dari catatan-catatan tradisional, dituliskan bahwa sesaat sebelum kematiannya tahun 632, Muhammad sudah punya visi untuk memperluas kekuasaan dan pengaruhnya keluar Arab. Pada tahun 631, dia dikatakan telah mengumpulkan pasukan yang luar biasa besar (tiga puluh ribu orang, sepuluh ribu kuda) untuk menyerang Romawi di Tabuk, kota antara Medinah dan Damaskus, tapi tak ada kelanjutannya. Sebagian dari pasukan ini lalu dikirim ke Dumah, dimana Komandan Muslim bernama Khalid berhasil menundukkan suku Yahudi dan Kristen. Muhammad juga berencana untuk mengirim pasukannya ke dalam teritori Roma di Palestina, tapi rencana ini tidak pernah terealisasi karena kematiannya di tahun 632.
Sepanjang duapuluh tiga tahun misi kenabiannya, Muhammad mengaku menerima wahyu langsung dari awloh, dimana “ritual-ritual dasar dan kewajiban-kewajiban Islam ditetapkan atau disempurnakan kemudian: wudhu, sholat, zakat, puasa dan ibadah haji”. Wahyu-wahyu itu menyangkut masalah sehari-hari, hukum-hukum agama, hak waris, pernikahan, perceraian dsb.

Hadits-hadits tersebut tidak diterima oleh Cook, Crone dan Hind. Dalam risalahnya tentang Muhammad yang pendek tapi tajam dalam Seri Oxford Past Masters, Cook memberikan argumen-argumen kenapa ia menolak hadis-hadis biografis tersebut:

Hadits-hadits palsu banyak tersebar di antara akademisi muslim abad delapan, dan bagaimanapun juga hadits dari mulut ke mulut itulah yang digunakan oleh Ibn Ishaq serta orang-orang sezamannya. Tak ada satupun dari cerita kabar burung ini hadits ini yang bisa dipercaya. Kita malah yakin bahwa ada sejumlah hadits mengenai dogma dan hukum yang disiapkan dengan serentetanpara isnad oleh mereka yang menyebarkannya; sedang disaat yang sama kita punya banyak kontroversi abad delapan yang mempertanyakan apa boleh membuat hadis dari mulut ke mulut itu menjadi tulisan. Implikasi dari pemikiran akan keandalan sumber-sumber ini jelas bermakna negatif. Jika kita tidak dapat mempercayai rantai otoritas (isnad), kita tidak bisa lagi mengklaim memiliki kisah-kisah yang diriwayatkan terpisah dari saksi-saksi yang independen; dan jika pengetahuan akan kehidupan Muhammad disampaikan secara oral selama satu abad sebelumnya lalu dijadikan tulisan, maka kemungkinan materi-materi itu telah mengalami berbagai perubahan dalam prosesnya.[32]

Cook lalu mencari sumber-sumber non muslim: Yunani, Syria dan Armenia. Dari sinilah gambaran yang tak disangka-sangka muncul. Meskipun tidak diragukan pernah ada orang bernama Muhammad, bahwa dia itu pernah menjadi pedagang, bahwa sesuatu yang penting terjadi tahun 622, dan bahwa “iman” Abraham menjadi pusat dari ajarannya, tidak ada indikasi bahwa karir Muhammad berkembang di Arab, tidak pernah disebut-sebut tentang Mekah, dan Qur'an tidak muncul sampai tahun-tahun terakhir abad ke-7. Malah muncul dari bukti-bukti ini tentang para muslim yang shalat ke arah jauh lebih utara (berlawanan) dari arah Mekah; dengan demikian pusat sesembahan mereka mestilah bukan Mekah. “Juga ketika kutipan Qur'an pertama muncul dalam sebuah koin dan prasasti dipenghujung abad ke-7, tulisan-tulisan itu berbeda dengan teks Qur'an sekarang. Ini kelihatannya remeh, namun fakta bahwa prasasti ini muncul dalam konteks formal, hal ini menjatuhkan keyakinan bahwa teks-teks quran tidak pernah berubah sedikitpun”. [33]
Sumber Yunani yang pertama membicarakan Muhammad masih hidup sampai tahun 634, dua tahun setelah kematiannya menurut kisah-kisah tradisi. Dimana ada kisah-kisah tentang perkataan Muhammad menyangkut perpecahan dengan orang-orang Yahudi.

Risalah Sejarah Armenia tahun 660 menjelaskan Muhammad sebagai pendiri komunitas yang terdiri dari kaum Ismail (Arab) dan Yahudi, di mana isu ‘keturunan Abraham’ menjadi platform bersama mereka; persekutuan ini lalu berangkat dengan maksud untuk menaklukan Palestina. Sumber Yunani tertua membuat pernyataan yang sensasional mengenai nabi yang muncul di antara orang-orang Saracen (Arab), yang memprlokamasikan kedatangan messias (Yahudi) yang akan datang dan membicarakan orang-orang Yahudi yang bercampur dengan orang Saraken’, serta bahayanya jika jatuh kemtangan orang-orang Yahudi dan Saracen ini. Kita tidak bisa dengan mudah menolak bukti-bukti ini sebagai produk prasangka Kristen belaka, karena ada konfirmasinya dalam Hebrew Apocalypse (dokumen abad 8 yang disatukan dengan Apocalypse sebelumnya, yang nampaknya sejaman dengan penaklukan tersebut). Retaknya hubungan dengan orang Yahudi dituliskan dalam Risalah Sejarah Armenia segera setelah penaklukan Yerusalem oleh Arab.[34]
Meski Palestina memainkan peran dalam tradisi muslim, tapi perannya telah kalah oleh Mekah di tahun kedua Hijriah ketika Muhammad mengubah arah kiblat muslim dari Yerusalem ke Mekah. Setelah itu Mekahlah yang menjadi pusat segala aktivitas. Tapi dalam sumber-sumber non-muslim, Palestinalah fokus dari pergerakan mereka dan yang memberi mereka motif religius untuk menaklukannya. Risalah Sejarah Armenia memberikan alasan-alasan masuk akal untuk ini: Muhammad memberitahu orang Arab bahwa sebagai keturunan Abraham lewat Ismail, mereka juga punya klaim tanah Palestina seperti yang dijanjikan sang sesembahan pada Abraham dan keturunannya. Agamanya Abraham malah menjadi inti dari risalah Armenia mengenai khotbah-khotbah Muhammad, sama seperti yang ada dalam sumber-sumber muslim, namun sumber-sumber muslim ini telah memberikan pelintieran geografis yang berbeda [ket : dari yang seharusnya Palestina sebagai latar belakangnya, menjadi Arab].

Jika sumber-sumber luar memiliki derajat ketepatan yang tinggi, maka pastilah catatan-catatan dalam tradisi islam secara serius sudah menyimpangkan aspek-aspek penting dalam kehidupan Muhammad, dan bahkan integritas Quran sebagai pesan-pesan Muhammad juga jadi diragukan. Dengan melihat sifat sumber-sumber muslim seperti yang dikatakan di atas, kesimpulan demikian menjadi sah bagi saya; tapi cukup adil untuk mengatakan bahwa kesimpulan demikian ini tidak biasanya diambil. [35]

Cook menunjukkan kemiripan kepercayaan dan praktek tertentu dalam Islam dengan praktek-praktek agama dari orang Samaria (didiskusikan nanti). Dia juga menunjuk bahwa gagasan fundamental Muhammad yang mengembangkan agamanya Abraham sebenarnya telah dilakukan dalam karya Apokripa Yahudi (tertanggal sekitar 140-100 SM) yang disebut “Book of Jubilees” dan mungkin ini yang telah mempengaruhi terbentuknya gagasan islam. Kita juga punya bukti-bukti dari Sozomenus, seorang penulis Kristen abad ke-5 yang “merekonstruksikan monoteisme primitif kaum Ismail yang mirip dengan yang dimiliki orang-orang Yahudi pada jamannya Musa”; dan dia berargumen dari kondisi saat itu bahwa Hukum-hukum Ismail mestilah “dirusak seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi oleh kaum berhala tetangganya.”
Sozomenus menjelaskan bagaimana suku-suku Arab tertentu yang mempelajari asal usul keturuan Ismail mereka dari kaum Yahudi dan mengadopsi ibadat-ibadat Yahudi. Lagi-lagi mungkin ada pengaruh terhadap komunitas muslim dari sumber ini. Cook juga menunjuk kemiripan kisah Musa (Kitab Keluaran, dll) dengan Hijrah Muslim (keluar dari Mekah). Dalam mesianisme Yahudi;

Karir dari seorang mesias dipandang sebagai ‘melakukan kembali’ apa yang telah dilakukan oleh Musa; kunci peristiwa Musa adalah ‘keluaran atau exodus’, atau hijrah, dari penindasan ke gurun pasir, dimana sang messiah harus memimpin peperangan suci untuk mengambil kembali tanah perjanjian, Palestina. Melihat bukti sebelumnya yang mengaitkan Muhammad dengan orang Yahudi serta kepercayaan tentang Messiahnya Yahudi di saat ketika penyerangan ke Palestina dimulai, normal sekali jika kita menganggap itu sebagai titik awal perebutan tanah perjanjian sebagai gagasan politisnya.

Michael Cook dan Patricia Crone mengembangkan gagasan ini dalam karya brilian mereka,Hagarism: The Making of the Islamic World (1977). Sayangnya, mereka memakai gaya yang cukup sulit dari ‘begawan’ mereka yaitu Wansbrough, yang mana bisa membuat mundur bahkan pembaca yang paling berdedikasi sekalipun; seperti kata Humphrey, “argumen mereka disampaikan lewat serangkaian kiasan, metafora dan perumpamaan yang memusingkan kepala”. [36] Ringkasan yang diberikan dalam kesimpulan Cook tentang “Muhammad” akan menolong orang awam untuk bisa memahami argument-argumen karya Cook dan Crone dalam “Hagarism”. Kita bisa menyusun tabel langkah-langkah argumen mereka sebagai berikut:
1. Keraguan akan kesejarahan tradisi islam
2. Pemakaian sumber-sumber non-muslim
3. Solidaritas Judeo-Arab dan permusuhan terhadap kristen
4. Penaklukan-penaklukan muslim awal
5. Pelepasan dari pengaruh Yudaisme
6. Melunaknya sikap terhadap kristen
7. Sadarnya akan kepentingan doktrin dan pengaruh agama Samarian
8. Penciptaan nabi Arab mengikuti model Musa
9. Penciptaan Kabah sebagai tempat suci
10. Penciptaan idea kota Suci

Akan lebih tepat jika memulai dengan arti kata yang sering dipakai oleh Crone & Cook, yaitu pemakaian istilah “Hagar”, “Hagarisme” dan “Hagarin”. Karena sebagian dari tesis mereka menjelaskan bahwa Islam hanya muncul sebagai pemikiran yang belakangan saja, setelah kontak pertama mereka dengan peradaban yang lebih tua di Palestina, Timur Dekat dan Timur Tengah, akan sangat tidak pantas jika memakai sebutan “muslim,” “islamik,” dan “islam” untuk kaum arab awal beserta keyakinan mereka. Sangat mungkin komunitas Arab awalnya tidak menyebut diri mereka sebagai “Muslim” ketika mereka masih mengembangkan identitas religius mereka. Di lain pihak dokumen-dokumen dari Yunani dan Syria menyebut komunitas ini sebagai “Magaritai” dan “Mahgre” (atau “Mahgraye”). Mahgraye adalah keturunan Abraham lewat Hagar [yang dalam kisah islam disebut Siti Hajar], dari sinilah muncul istilah “Hagarisme”. Tapi ada dimensi lain dari istilah ini; istilah Arab yang serupa adalah “Muhajirun” – Muhajirun adalah mereka yang ikut Hijrah, suatu migrasi. Maka “Mahgraye” dipandang sebagai orang-orang Hagarene yang ikut Hijrah ke Tanah Perjanjian ; di sinilah bergantung identitas awal dari keyakinan yang pada Saatnya nanti akan menjadi Islam”. [37]

Dengan mendasarkan pada berbagai sumber-sumber non-muslim, Crone & Cook memunculkan kisah baru mengenai kebangkitan islam, sebuah kisah yang tidak diterima oleh muslim manapun. Sumber -sumber muslim terlalu jauh jarak penulisan dengan peristiwanya, tidak bisa diandalkan dan tidak ada dasar eksternal yang kuat untuk menerima tradisi islam tersebut. Crone & Cook memulai dengan teks Yunani (tertanggal 634-636M), di mana disebutkan disana bahwa inti dari pesan-pesan sang nabi muncul sebagai mesianisme Yudaik.

Ada bukti bahwa orang kaum Yahudi sendiri, tidak menjadi musuh muslim seperti yang dikisahkan tradisi-tradisi muslim, malah menyambut dan menerjemahkan penaklukan Arab dalam sudut pandang messianik. Bukti “keakraban Judeo-Arab dilengkapi dengan indikasi adanya permusuhan terhadap KeKristenan.” Sebuah risalah Armenia lain yang ditulis tahun 660 juga mengkontradiksi tradisi muslim yang mengatakan Mekah adalah kota pusat religi kaum Arab pada saat penaklukan Palestina terjadi; sebaliknya malah berorientasi ke pergerakan Palestina. Risalah yang sama menolong kita untuk memahami bagaimana sang nabi “menyediakan sebuah dasar pemikiran bagi keterlibatan Arab dalam pelegitimasian mesianisme Yudais. Dasar pemikiran ini terdiri dari dua keinginan dari arab keturunan Abraham yg dikenal sebagai kaum Ismail: satu, untuk mendapatkan hak akan Tanah Perjanjian, dua, untuk mengesahkan asal-usul monoteis”. [38] Kita juga bisa melihat Hijrah Muslim tidak sebagai perpindahan dari Mekah ke Medinah (karena tidak ada sumber-sumber awal yang teruji kesejarahannya untuk peristiwa ini), tapi sebagai perpindahan kaum Ismail (Arab) dari Arabia ke Tanah Perjanjian.

Orang-orang Arab tidak lama kemudian bertengkar dengan orang Yahudi, dan sikap mereka terhadap orang Kristen jadi melunak – mereka menganggap orang kristen secara politik kurang begitu mengancam dibanding orang Yahudi. Di sinilah terdapat kebutuhan untuk mengembangkan identitas religius yang positif, yang mereka kemudian lakukan dengan memperluas agama Abraham dalam skala penuh, memasukkan banyak praktek pagan tapi di dalam naungan Abrahamik baru. Tapi mereka masih kekurangan struktur dasar religius untuk memampukan mereka berdiri kokoh sebagai komunitas religius yang mandiri. Di sinilah mereka secara sangat besar terpengaruh oleh kaum Samaritan.

Asal usul kaum Samaria agak sedikit kabur. Mereka adalah orang-orang Israel dari Palestina Tengah, umumnya dianggap sebagai keturunan dari mereka yang ditempatkan di Samaria oleh raja-raja Assyria sekitar 722 SM. Keyakinan dari orang Samaritan adalah monoteisme Yahudi, tapi telah menyamarkan dan mengurangi pengaruh Yudaisme dengan mengembangkan identitas religius mereka sendiri, mirip dengan yang dilakukan orang-orang Arab kemudian. Kitab orang Samarian hanya Pentateuch, yang dianggap sebagai sumber utama dan standar untuk iman dan prilaku mereka.
Formula “tiada sesembahan lain selain yang satu” adalah refrain dalam liturgi-liturgi kaum Samarian. Tema yang konstan dalam literatur-literatur mereka adalah keesaan sesembahannya dan kemuliaan serta kebenarannya yang mutlak. Kita bisa melihat secara langsung kemiripan dengan proklamasi iman muslim “la ilaha illallah – tiada ilah lain selain sang sesembahan - awloh”. Dan tentu saja keesaan sang sesembahan adalah prinsip fundamental dalam islam.

Formula Muslim “bismillah” (dengan nama auwloh) dapat ditemukan dalam kitab Samarian sebagai “beshem”. Surah pembuka Quran yang dikenal sebagai al-Fatihah, pintu atau jalan, sering dianggap sebagai ringkasan pengakuan iman mereka. Doa orang Samaritan juga dianggap sebagai ringkasan pengakuan iman mereka, dimulai dengan kalimat: Amadti kamekha al-fatah rahmekha. “kami berdiri dihadapan-mu pada pintu/jalan kemurahan-mu.” Fatah adalah Fatiha, yang pembukaan atau gerbang.[39]
Kitab suci kaum Samarian, Pentateuch dianggap sebagai pewahyuan dari sang sesembahan secara langsung dan sangat dimuliakan. Muhammad juga kelihatannya hanya tahu Pentateuch dan Mazmur dan tidak menunjukkan bahwa dia tahu tentang tulisan-tulisan lain, mengenai nabi-nabi atau sejarah lain.

Kaum Samarian sangat memuliakan Musa, Musa adalah nabi yang kepadanya wahyu diturunkan. Bagi kaum Samarian, Gunung Gerizim (pengganti Gunung Sinai) adalah pusat dari penyembahan kepada yahweh; dan lebih jauh lagi dihubungkan dengan Adam, Seth dan Nuh, dan pengorbanan Ishak oleh Abraham. Harapan akan kedatangan Messias juga menjadi salah satu pilar iman mereka – nama yang diberikan pada sang Messiah adalah sang Pemulih. Di sini kita juga memperhatikan kesamaan gagasan muslim akan Imam Mahdi.


(Bekas reruntuhan kuil allah milik kaum Samarian di Gunung Gerizim. Akademisi Michael Cook & Patricia Crone menyimpulkan thesis bahwa islam sedikit banyak mengadopsi ajaran-ajaran dan kosa kata agama kaum Samarian yang dibalut dalam semangat Ismailit dan budaya Arab. Musa diganti menjadi Muhammad, Torah diganti menjadi Alquran,yahwe menjadi awloh, dan exodus menjadi hijrah, kaum Israel menjadi muhajirun. kata 'Islam' sendiri berasal dari bahasa Samaria 'Salama' yang berarti 'tunduk / patuh / sujud').


MUSA, KELUARAN (EXODUS), PENTATEUKH, GUNUNG GERIZIM DAN SHECHEM
(bertransformasi menjadi)


Muhammad, Hijrah, Quran, Gunung Hira dan Mekah

Di bawah pengaruh Samarianisme, orang Arab mulai membentuk Muhammad seperti Musa sebagai pemimpin Keluaran (Exodus atau Hijrah), sebagai pembawa wahyu baru (Qur'an) yang diterima di gunung keramat Arab, gunung Hira, tempat Gua Hira berada. Setelah itu saatnya untuk membentuk suatu kitab suci. Crone & Cook menunjuk suatu kisah dalam tradisi muslim bahwa Qur'an asalnya dari berbagai kitab, dimana Usman (Kalifah ketiga setelah kematian Muhammad) menunjuk satu versi Qur'an saja.

Kita memiliki kesaksian dari seorang rahib Kristen yang membedakan Qur'an dengan surah Al-Baqarah dan keduanya dia anggap sebagai sumber-sumber hukum. Dalam dokumen lain dikatakan bahwa Hajjaj (661-714), Gubernur Irak, telah mengumpulkan dan menghancurkan semua tulisan-tulisan para muslim awal. Lalu, mengikuti Wansbrough, Crone & Cook menyimpulkan bahwa Qur'an “sangat kurang dalam struktur keseluruhannya, sering samar dan ngawur baik dalam hal bahasa maupun isi, materi-materi yang harusnya saling berhubungan terasa asal saja dan ada pengulangan-pengulangan ayat dalam banyak versi. Dengan dasar ini dapat ditetapkan pendapat yang masuk akal bahwa Qur'an adalah hasil dari editan materi-materi yang tidak sempurna dan basi dari tradisi-tradisi majemuk yang banyak bertebaran”. [40]

Kaum Samarian menolak kesucian Yerusalem dan menggantinya dengan pusat sembahan Israel yang lebih kuno, Shechem. Ketika muslim awal melepaskan diri dari Yerusalem, Shechem memberikan model yang pantas untuk menciptakan pusat sembahan mereka sendiri.

(Kaum Samaria melakukan doa wajibnya di gunung Gerizim )

Kemiripannya luar biasa. Masing-masing punya struktur yang sama sebuah kota suci yang berhubungan dan dekat dengan gunung keramatnya, dan masing-masing ritual fundamentalnya adalah ibadah dari kota ke gunung tersebut. Masing-masing pusat sembahan itu adalah dasar dari kepercayaan Abrahamik, pilar dimana Abraham membuat korban di Shechem menemukan padanannya dalam al-rukn (sudut Yamani dari Kabah) di Mekah. Terakhir, tempat keramat masing-masing dekat dengan kuburan dari kakek moyang mereka masing-masing: Yusuf (lawan dari Yehuda) untuk kaum Samarian, Ismail (lawan dari Ishak) untuk Mekah.[41]

Crone & Cook berpendapat bahwa kota yang sekarang dikenal sebagai Mekah di Hijaz, Arabia Pusat bukanlah panggung utama dari peristiwa-peristiwa penting yang begitu dipuja-puja dalam tradisi Islam. Di samping tidak adanya referensi muslim awal yang sezaman mengenai Mekah, kita memiliki fakta mengejutkan bahwa arah kiblat mereka sebelumnya adalah barat-laut Arab. Bukti ini berasal dari ditariknya garis lurus antara masjid-masjid zaman itu dan bukti-bukti literatur dari sumber-sumber Kristen. Dengan kata lain, Mekah dipilih sebagai arah kiblat muslim belakangan saja, untuk merelokasikan sejarah awal mereka di Arabia, demi melengkapi usaha lepasnya mereka dengan Yudaisme, dan terakhir untuk menciptakan identitas agama yang terpisah.



(keterangan: Masjid-masjid sebelum tahun 715 memiliki arah kiblat yang jauh ke utara dari arah Mekkah, yang jika ditarik kesejajarannya mengarah ke suatu tempat di Barat Laut Arabia. Kemungkinan pusat religi pergerakan agama yang nantinya disebut islam ini berawal di sini, suatu tempat yang sekarang dikenal sebagai Medain el-Sallam).

Di bagian lainnya dari buku yang menarik ini, Crone & Cook menunjukkan bagaimana islam mengasimilasi semua pengaruh luar yang masuk akibat penaklukan mereka yang cepat itu; bagaimana islam mendapatkan identitas khusus dalam pertemuan dengan peradaban yang lebih tua, lewat kontak-kontaknya dengan para Yudaisme rabbinik, Kekristenan (Yacobit dan Nestorian), Hellenisme (budaya Yunani) dan idea-idea dari Persia (hukum rabbinik, filosofi Yunani, Neoplatonisme, Hukum Romawi dan seni dan arsitektur Byzantine). Tapi mereka juga menunjukkan bahwa semua ini didapat dengan harga budaya yang sangat mahal. “Penaklukan Arab yang begitu cepat menghancurkan satu kekaisaran, dan secara permanen melepaskan teritori maha luas dari kekaisaran yang lama. Hal ini, dari sudut pandang kenegaraan, adalah bencana maha dashyat”. [42]

Dalam buku Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity (1980), Patricia Crone menolak kisah-kisah tradisi Muslim yang meriwayatkan kekalifahan awal (sampai tahun 680) sebagai fiksi tak berguna. Dalam buku Meccan Trade and the Rise of Islam (1987), dia berpendapat bahwa yang disebut-sebut sebagai laporan sejarah tradisi islam adalah “bualan khayal untuk mengisi lubang-lubang sukar dalam ayat-ayat Qur'an.[43] Dalam Meccan Trade and the Rise of Islam Crone secara meyakinkan memperlihatkan bagaimana Qur'an “memproduksi banyak sekali informasi-infromasi palsu”.

Banyak sekali peristiwa bersejarah yang katanya menjadi penyebab wahyu-wahyu tertentu diturunkan (contohnya Perang Badar, lihat di bukunya halaman 93), nampaknya dikarang hanya untuk menjembatani lubang-lubang dalam al Qur'an. Jelas para pengarang cerita pertama mengarang konteks sejarahnya untuk ayat-ayat tertentu untuk dan dari ayat-ayat Qur'an. Tetapi banyak dari informasi tersebut bertentangan (contoh, dikatakan ketika Muhammad tiba di Medina untuk pertama kali, kota itu dilanda perang saudara, tapi disaat yang sama kita diminta untuk percaya bahwa orang-orang Medinah disatukan di bawah pemimpin Ibn Ubayy); dan ada kecenderungan “kisah-kisah terpisah yang jelas-jelas tidak sesuai dengan tema umum yang ada” (contoh, sejumlah besar kisah sekitar tema “Muhammad bertemu dengan para wakil agama non islam yang lalu mengakuinya sebagai seorang calon nabi masa depan”) Terakhir, ada kecenderungan informasi tertentu berkembang menjauh dari peristiwa yang diceritakan: contoh, jika seorang pencerita kebetulan meriwayatkan sebuah perampokan, pencerita berikutnya akan mengatakan pada kita tanggal yang tepat dari perampokan ini, dan yang ketiga akan menambahkan dengan detail rincian lain. Waqidi (m. 823) yang menulis beberapa dekade setelah Ibn Ishaq (m.768), “selalu memberikan tanggal, lokasi, nama-nama, padahal Ibn Ishaq tidak menyebutkannya, kisah-kisah yang memicu ekspedisi perampokan, informasi tambahan yang menambahkan warna pada peristiwa-peristiwa tertentu, juga alasan-alasan mengapa tidak ada peperangan terjadi. Tidak heran para akademisi lebih menyukai Waqidi; darimana lagi kita bisa mendapatkan informasi yang demikian akurat dan hebat mengenai hal-hal yang orang ingin ketahui? Tapi jika melihat bahwa semua informasi akurat ini tidak diketahui oleh Ibn Ishaq, yang hidup lebih dekat pada sang nabi dibanding Waqidi, nilai riwayat Waqidi sangat-sangat diragukan. Dan jika informasi-informasi palsu bisa dikumpulkan dengan kecepatan seperti ini, hanya dalam dua generasi saja antara Ibn Ishaq dan Waqidi, sulit sekali untuk menghindari kesimpulan bahwa harusnya bisa lebih banyak lagi dikumpulkan informasi yang lebih akurat dalam tiga generasi antara sang nabi dan Ibn Ishaq”.

Jelaslah bahwa para sejarawan muslim awal membuat sebuah kolam informasi dari materi-materi palsu para periwayat. Crone berpendapat bahwa tugas sejarawan modern konservatif, seperti Watt, yang secara tidak benar optimis akan sebuah nilai sejarah dari sumber-sumber muslim mengenai kebangkitan islam. Dan kita akan akhiri bab ini dengan mengutip kesimpulan Crone mengenai semua sumbersumber muslim ini:
[Metodologi Watt bersandar] pada penilaian yang salah akan sumber-sumber ini. Masalahnya adalah asal-usul dari tradisi muslim itu sendiri (hadits & sunnah) itu sendiri, bukan penyimpangan kecil yang lalu diperkenalkan. Membiarkan penyimpangan muncul dalam perbedaan pakem di dalam islam seperti dalam bidang suku, sekte, atau golongan pemikiran tidaklah membantu membenarkan tendensius yang muncul dari kepatuhan akan islam itu sendiri. Keseluruhan catatan tradisi muslim itu sendiri tendensius, tujuannya adalah untuk membesar-besarkan Heilgeschichte-nya arab, dan tendensius ini membentuk fakta-fakta seperti yang kita terima sekarang, bukan semata ditambahkan oleh sebagian orang yang bersikap berat sebelah (apriori) yang pernyataannya bisa kita ambil”. [44] 
-----------------------------------------
[1] Hurgronje Snouck, C. Mohammedanism. New York, 1916. Hal.16
[2] Burton, John. The Collection of the Quran, Cambridge, 1977, hal.225
[3] Hurgronje Snouck, C. Mohammedanism. New York, 1916. Hal.23
[4] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.82
[5] Hurgronje Snouck, C. Mohammedanism. New York, 1916. Hal.24
[6] Ibid., hal.25
[7] Smirnov, N.A. Russia and Islam. London, 1984. Hal.48
[8] Ibid., hal.48-49
[9] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.83
[10] Ibid., hal.83
[11] Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71. Hal.19 Vol.2
[12] Ibid., hal.43, Vol.2
[13] Ibid., hal.44
[14] Ibid., hal.108
[15] Ibid., hal.169
[16] Ibid., hal.236
[17] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.83
[18] Schacht, Joseph. “Law and Justice.” Dalam The Cambridge History of Islam. 4 vols. Cambridge, 1970. Hal. 4-5
[19] Ibid., hal.149-163
[20] Crone, P. Roman, Provincial and Islamic Law? Cambridge, 1987. Hal.7
[21] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.84
[22] Cook, M. Muhammad. Oxford, 1983. hal. 68
[23] Artikel Adams “Quran” dalam Encyclopaedia of Religion.
[24] Wansbrough, J. Quranic Studies. Oxford, 1977. Hal. 56
[25] Ibid., hal.79
[26] Ibid., hal.51
[27] Ibid., hal.97
[28] Ibid., hal.44
[29] Jeffery, Arthur. “The Quest of the Historical Mohammed.” Dalam Muslim World, vol.16, no.4, October 1926. Hal.342
[30] Wansbrough, J. Quranic Studies. Oxford, 1977. Hal.56
[31] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.84-85
[32] Cook, M. Muhammad. Oxford, 1983. Hal. 65
[33] Ibid., hal.74
[34] Ibid., hal 75-76
[35] Ibid., hal.76-82
[36] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.85
[37] Crone, P., and Cook, M. Hagarism: The Making of the Muslim World. Cambridge, 1977. Hal.9
[38] Ibid., hal.8
[39] Ibid., hal.114ff
[40] Ibid., hal.18
[41] Ibid., hal.21
[42] Cook, M. [Muhammad. Oxford, 1983. Hal.86
[43] Crone, P. Meccan Trade and the Rise of Islam. Oxford, 1987. Hal. 215
[44] Ibid., hal.230